18.7.12
Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi
Oleh : Jusman Dalle
Diterbitkan pada kolom opini Kompas (17/7)
Pemerintah memastikan bakal memberi bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) sebesar USD1 miliar (sekitar Rp9,4 triliun). Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa Indonesia mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika
Narsistik
Sejak rencana nyumbang itu diumumkan pasca pertemua G-20 di Brasil, berbagai penolakan telah dilontarkan oleh LSM, mahasiswa, maupun ekonom tak digubris pemerintah. Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Hatta Rajasa bahkan dengan antusias meyakinkan publik bahwa sumbangan tersebut mengangkat derajat Indonesia karena akan dianggap sebagai negara yang kuat, maju dan kokoh secara ekonomi.
Argumentasi yang berupaya merasionalisasi latar belakang bantuan tersebut secara langsung menyimpulkan bahwa pemerintah sedang melakukan malpraktik diplomasi. Yaitu terjebak pada diplomasi narsistik. Model diplomasi dengan menonjolkan kelebihan atau pamer agar diakui dunia sebagai bentuk legitimasi atas segala ‘kelebihan’ yang dimiliki.
Dalam dunia marketing, Damien Mc Loughlin dan David A Aaker (2010) menyebutnya sebagai konstruksionalisasi preceived quality (persepsi kualitas). Membangun kesan kaulitas dengan tujuan menciptakan basis ekuitas melalui shock therapy kepada publik –dalam hal ini negara lain-, agar Indonesia makin dilirik dan ditempatkan pada posisi yang terhormat dalam kasta ekonominya. Indonesia hendak mendeklarasikan diri sebagai negara ekonomi kuat, tapi bukan berdasarkan kualitas aktual.
Karena faktanya, kondisi Indonesia tidak sama dengan apa yang dikatakan oleh duo Menteri bidang ekonomi, Hatta Rajasa dan Agus Martowardojo. Ekonomi Indonesia masih timpang dan compang. Deviasi antara khotbah tentang kesejahteraan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) sebagai instrumen global dalam menakar tingkat pembangunan suatu negara, masih sangat jauh.
IPM yang ditakar berdasarkan akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi/kesejahteraan sebagaimana terakhir dirilis oleh United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 2011 menempatkan Indonesia di posisi 124 dari 187 negara. Peringkat itu terpaut sangat jauh dari negara tetangga seperti Singapura (26), Bruneidarusalam (33), Malaysia (61) bahkan oleh Tahiland (103) dan Filipina (112).
Data dari UNDP dikonfirmasi pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) yang menemukan masih besarnya angka kemiskinan dan pengangguran. Penduduk miskin di Indonesia per Maret 2012 masih tercatat 29,13 juta jiwa atau 11,96%, angka pengangguran mencapai 8,12 juta dari 119,4 juta angkatan kerja.
Tak Signifikan
Sumbangan kepada IMF entah dalam bentuk hutang atau hibah, sebenarnya juga tak berdampak signifikan. IMF, kata Direktur Eksekutif Christine Lagarde membutuhkan dana sebesar 430 dollar Amerika, sementara Indonesia hanya akan menyumbang 1 miliar dollar AS.
Tapi ketika dana sejumlah Rp. 9,4 triliun itu dialokasikan untuk kepentingan rakyat, banyak manfaat yang bisa didapatkan. Seperti untuk pembangunan sarana pendidikan, infrastruktur seperti jalan dan jembatan, bantuan modal bagi pengusaha mikro atau bantuan kepada petani yang selama ini tercekik oleh kebijakan impor ragam holtikultura.
Indonesia bisa saja menuai nilai diplomasi yang signifikan, mengungkit derajat di mata IMF dan negara-negara yang sedang butuh uluran tangan dengan pengorbanan kecil. Namun di sisi lain, keputusan itu sangat mencedeai rasa keadilan dan nurani rakyat. Jika alasan Hatta Rajasa bahwa bantuan yang digunakan untuk mengatasi krisis di Eropa turut memiliki implikasi bagi perekonomian nasional, maka lebih rasional menggunakan dana tersebut langsung kepada rakyat tanpa menunggu trickel down effect dari Eropa.
Apa lagi anggaran diambil dari cadangan devisa di Bank Indonesia. Padahal posisi cadangan devisa menunjukkan tanda kuning. Sampai akhir Mei 2012 turun sebesar 4,9 miliar dollar menjadi 111,5 miliar dollar dari sebelumnya April yang tercatat 116,4 miliar dollar.
Beban pembayaran utang yang angkanya terus membengkak. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementiran Keuangan per Mei 2012, menunjukkan total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp1.944,14 triliun. Atau naik Rp140,65 triliun dari posisi di akhir 2011 yang mencapai Rp1.803,49 triliun.
Volatilitas nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga level Rp.9.500 per dollar sewaktu-waktu membutuhkan intervensi Bank Indonesia untuk menjaga likuiditas pasar, tentu harus pula diantisipasi melalui cadangan devisa yang cukup.